بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Masa Kemunculan dan Perkembangan Ajaran Bahaiyah
Pendiri atau pencetus ajaran Bahaiyah adalah Husein Ali yang dikenal dengan al-Baha’. Ia lahir di Desa Nur di Propinsi Mazandran, Iran, pada 11 November 1817.
Ayahnya bernama al-Mirzah Abbas Basrak an-Nuri merupakan seorang pegawai di departemen keuangan di Kerajaan Iran (sebelum Republik Syiah Iran). Sang ayah memiliki hubungan dekat dengan duta besar Iran untuk Rusia dikarenakan saudaranya seorang juru tulis kepercayaan di kedutaan negeri beruang merah tersebut. Adapun ibu dari Husein Ali adalah Hanim Jani atau Khatim Jani yang merupakan istri pertama dari Abbas, ayah Husein Ali.
Husein merupakan anak ke-3 dari 15 bersaudara. Di masa kecilnya Husein tidak bersekolah di sekolah resmi atau madrasah keagamaan tertentu, ia dididik ayahnya di rumah mereka. Setelah itu ia berusaha sendiri mengkaji buku-buku untuk menambah khazanah pengetahuannya. Husein sering membaca buku-buku Sufiyah dan Syiah, terutama buku Syiah Ismailiyah dan filsafat Yunani klasik. Ia juga terpengaruh dengan pemikiran Budha dan Zoroaster.
Di masa mudanya, Husein bergabung dengan aliran Babiyah. Sebuah aliran pemikiran (sekte) yang didirikan oleh Ali Muhammad asy-Syirazi yang mengklaim dirinya sebagai seorang nabi dan pembawa risalah. Setelah Ali Muhammad asy-Syirazi tewas dieksekusi mati di tahun 1868, Husein mengklaim dirinya adalah orang yang diwarisi kepemimpinan oleh pendiri ajaran Babiyah ini. Mulailah orang-orang mengikuti Husein, lalu ia menggelari dirinya dengan Baha-ullah (بهاء الله).
Saat dakwah Bahai-yah mulai tersebar, kekhalifahan Utsmani pun mengambil tindakan. Akibatnya pada tahun 1868 Husein diasingkan ke Kota Acre. Tidak disangka, malah di kota ini Husein mendapat dukungan dari masyarakat Yahudi Acre. Orang-orang Yahudi menyambutnya dengan hangat, membekalinya dengan harta, dan menjamin keamanannya. Sejak saat itulah Kota Acre menjadi basis utama ajaran Baha-iyah.
Mendapat angin surga, kesesatan Husein Ali kian menjadi. Dari mengaku sebagai pembawa risalah, ia meningkatkan maqomnya menjadi pemilik sifat-sifat ilahi. Ia katakan bahwa dirinya adalah al-Qayyum yang mengurusi para makhluk, ia sematkan sifat kekal untuk dirinya, ruh Allah menyatu bersamanya, ia mengutus para nabi dan rasul, dan mewahyukan agama-agama.
Syariat shalat yang lima, Husein kurangi hanya cukup tiga waktu saja, masing-masing hanya tiga rakaat. Ia menghilangkan syariat shalat Jumat. Wudhu diringkas dengan cukup membasuh muka dan kedua tangan. Haji bukanlah menuju Mekah, tapi menuju Acre, hanya wajib bagi laki-laki, dan tidak ada cara dan waktu tertentu, dll. Namun, seruan utama mereka adalah menggugurkan syariat jihad. Perang sama sekali diharamkan dalam ajaran Bahai-yah.
Di akhir hayatnya, Husein Ali menderita kegilaan, kemudian wafat pada 29 Mei 1892. Setelah itu, keimaman Baha-iyah diwariskan ke anaknya yang bernama Abbas yang dikenal dengan Abdul Baha’,
Akidah Baha-iyah
Baha-iyah bahwasanya Allah menyatu dalam diri Baha-ullah, Husein Ali. Karena itu, dalam ajaran ini diyakini Baha-ullah lah yang menciptakan segala sesuatu. Dalam ajaran ini, angka 19 adalah angka suci sehingga tidak heran mereka menjadikan bulan ada 19 bulan dan terdiri dari 19 hari. Mereka menjadikan Zoroaster, Konfusius, dan tokoh-tokoh besar lainnya di kalangan India dan Cina sebagai nabi. Mereka mengharamkan hijab bagi wanita dan menghalalkan mut’ah (al-Mausu’ah al-Muyassar fi al-Adyan wa al-Madzahib wa al-Ahzab al-Muashirah, 1: 412).
Ajaran ini cukup diakui oleh orang-orang Eropa dan Amerika lantaran eksistensi Abbas Abdul Baha’ yang senantiasa turut serta dalam berbagai konfrensi orang-orang Eropa dan Amerika, baik konfrensi itu mengenai komunisme atau tentang sekulerisme. Sebagai pengakuan eksistensi Baha-iyah, di Chicago, Baha-iyah, pernah diadakan konfrensi Bahaiyah terbesar sepanjang sejarah aliran ini.
Populasi terbesar orang-orang Baha-iyah berada di Iran, kemudian sebagian kecil berada di Irak, Suriah, Libanon, dan Palestina.
Pandangan Ulama Terhadap Baha-iyah
Pada tahun 2003, Lajnah Fatwa bil Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah al-Azhar menetapkan bahwa Islam tidak mengenal dan sama sekali tidak menjadi bagian dari Baha-iyah. Syaikh Jad al-Haq Ali Jad al-Haq –Syaikh al-Azhar- menyatakan bahwa Bahaiyah adalah pemikiran non-Islam, tidak boleh seorang muslim meyakini, dan berafiliasi pada gerakan ini. Alasannya adalah karena Baha-iyah menyerukan bersatunya Allah dalam wujud makhluknya, membuat syariat yang sama sekali tidak berasal dari tuntuna Alquran dan sunnah, mengklaim kenabian bahkan ketuhanan.
Baha-iyah merupakan pemikiran ekstrim yang menggabungkan keyakinan beberapa agama, filsafat, dan tidak memiliki cita-cita untuk perbaikan umat Islam.